Jumat, 07 Juni 2013

Zakat Fitrah dengan Uang



Pertanyaan:
Bagaimana sebenarnya kedudukan hukum fiqh tentang membayara zakat fithrah dengan uang?
Jawaban:
Sebelum menjawab pertanyaan dalam kasus diatas ada baiknya kita melihat dulu bagaimana jenis zakat fithrah yang dikeluarkan berdasarkan 4 mazhab yang mu`tabar.
Beberapa pendapat ulama mazhab sebagai landasan untuk menjadi pegangan tentang jenis-jenis harta yang dikeluarkan  untuk zakat fitrah:

1.        Mazhab Hanafi
Imam Abu Hanifah [1] berpendapat bahwa jenis-jenis makanan yang dikeluarkan dalam  zakat fitrah adalah hintah (gandum), syair (padi belanda), tamar (kurma),  zabib (anggur), beliau juga berpendapat boleh pula mengeluarkan daqiq hintah ( gandum yang sudah menjadi tepung) dan saweq (adonan tepung).
 Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa sesungguhnya Rasulullah Saw  bersabda:
ادوا قبل الخروج زكاة القطر فان علي كل مسلم مدا من قمح او دقيق.
Artinya : “tunaikanlah zakat fitrah sebelum kamu keluar untuk sembahyang, maka wajib atas setiap orang merdeka mengeluarkan dua mud gandum dan daqiq (tepung dari gandum)”.

Disamping itu Imam Abu Hanifah juga berperndapat boleh pula mengeluarkan zakat fitrah dengan cara menghargakan makanan-makanan yang disebutkan di atas dengan menggunakan uang atau barang-barang yang lain dari apa saja yang dikehendakinya, bahkan beliau berpendapat mengeluarkan uang lebih baik dari pada menggunakan qut (makanan pokok yang dapat disimpan dan tahan lama) dikarenakan uang lebih banyak manfaatnya dan bisa digunakan untuk kebutuhan yang diinginkan fakir miskin, hal ini didasari hadits Rasulullah S.A.W.
اغنواهم عن المسألة فى مثل هذا اليوم
Artinya :   “Perkayakanlah orang-orang miskin dari meminta-minta pada hari ini”.

Hadits di atas menganjurkan kita memperkaya orang miskin yaitu memenuhi kebutuhannya, untuk memenuhi kebutuhan para  fuqaraa (orang-orang miskin) boleh dengan cara memberi makanan boleh pula dengan memberikan uang atau barang yang lain, bahkan menggunakan uang lebih cocok dalam menunaikan hajat para fuqaraa, dan sipemberi pun lebih mudah dalam menunaikannya. Dan Abu Yusuf berkata : “aku lebih cinta mengeluarkan daqiq dari pada gandum kemudian uang lebih baik dari pada daqiq dan gandum karena uang lebih dominan dalam menunaikan kebutuhan orang-orang fakir”.
Adapun kadar yang dikeluarkan dalam zakat fitrah menurut mazhab Abu Hanifah  adalah ½ sha’ gandum atau satu sha’ syair, satu sha’ kurma, pendapat  ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Sha’labah bin Su’ar al-Uzry
أدوا عن كل حر وعبد نصف صاع من بر, او صاعا من تمراومن شعير
 Artinya :  “Tunaikanlah dari setiap orang merdeka dan hamba ½ sha’ gandum atau satu sha’ kurma ataupun syair”.

Sedangkan masalah anggur maka golongan yang bermazhab Hanafi berbeda pendapat tentang kadar yang dikeluarkan, sebahagian berpendapat satu sha’ anggur dan sebahagian yang lain berpendapat ½ sha’ anggur. Satu sha’ 8 Rithal ‘Irak  menurut mazhab Hanafi, satu Rithal ‘Iraqiy 230 Dirham atau 3800 gr  karena Nabi Saw berwudhuk dengan satu mod yaitu 2 Rithal dan mandi dengan satu sha’ yaitu 8 Rithal.[2]

2.        Mazhab Maliki

Imam Malek [3] berpendapat zakat fitrah yang wajib dikeluarkan adalah  qut balad (makanan pokok suatu daerah), akan tetapi beliau membatasi qut balat tersebut hanya sembilan macam yaitu gandum, syair, sulti, jagung, dakhan, kurma, anggur, susu yang sudah kering yang tidak diambil buihnya, tidak boleh mengeluakan makanan selain sembilan macam yang disebutkan di atas seperti ful (kacang-kacangan) dan adas.
Apabila terdapat jelas yang sembilan ini atau sebahagiannya, maka boleh dipilih salah satunya untuk mengeluarkannya. Dan jika dalam suatu daerah mengkonsumsi dua macam jenis makanan pokok seperti padi dan jagung dan keduanya sama dibutuhkan dalam daerah tersebut  maka boleh terhadap muzakki memilih diantara keduanya, kemudian apabila terdapat seluruhnya atau sebahagiannya sedangkan yang dijadikan makanan pokok itu lain maka wajib dikeluarkan barang yang dijadikan makanan pokok kecuali makanan tersebut kurang baik ketimbang jenis yang sembilan itu. Golongan yang bermazhab Maliki berpendapat boleh mengeluarkan daging bila sudah dijadikan makanan pokok.
Sedangkan kadar yang dikeluarkan  menurut Imam Malek adalah satu sha’ makanan pokok yang telah disebutkan. Kadar 1 sha’ adalah  4 mud. Yaitu 685 Dirham 5/7  atau 5 1/3 Rithal Baghdadiy sama dengan sepenuh dua telapak tangan (cidukan tangan) seseorang yang pertengahan(tidak terlalubesar dan tidak terlalu kecil)

3.        Mazhab syafi’i

Imam Syafi’i[4] berpendapat zakat fitrah wajib dikeluarkan dengan menggunakan qut (makanan pokok yang mengenyangkan), akan tetapi golongan yang bermazhab Syafi’i berbeda pendapat tentang qut yang digunakan dalam menunaikan zakat fitrah.
Diantara mereka ada yang berpendapat qut yang digunakan adalah qut balat yaitu makanan pokok yang dikonsumsi oleh suatu daerah, sekalipun muzakki tidak mengkonsumsinya. Sebahagian yang lain berpendapat qut yang digunakan adalah qut dirinya yaitu makanan pokok yang ia konsumsi walaupun daerah tersebut mengkonsumsi jenis makanan yang lain. Ada juga yang berpendapat boleh kedua-duanya, 
Maka pendapat jumhur qut yang digunakan adalah qut yang dikonsumsi suatu daerah, dan boleh juga mengeluarkan qut yang tidak ia konsumsi asalkan yang lebih baik, seperti suatu daerah mengkonsumsi beras maka boleh mengeluarkan gandum, dan daerah yang mengkonsumsi anggur boleh mengeluarkan kurma dan lain sebagainya, lebih baik yang dimaksudkan disini adalah banyak dijadikan sebagai qut, bukan harganya lebih mahal. Imam Syafi’I juga berpendapat jika dalam suatu daerah ada beberapa macam makanan pokok yang dikonsumsi maka boleh mengeluakan zakat fitrahnya qut apa saja yang diinginkannya, akan tetapi yang lebih baik mengeluarkan qut yang lebih bagus, tidak boleh mengeluarkan beberapa jenis dalam satu sha’, seperti ½ sha’ kurma dan ½ sha’ anggur.
Menurut pendapat Imam Syafi’I kadar satu sha’ adalah 685 5/7 dirham atau 5 1/3 Rithal Baghdadiy. Berkata Imam Nawawi dalam Raudhah “telah sulit membuat batasan satu sha’ dengan timbangan, karena satu sha’ yang dikeluarkan Rasulullah s.a.w adlah takarannya diletahui tetapi berbeda-beda ukuran timbangannya, karena perbedaan benda yang dikeluarkannya, seperti biji-bijian, kacang-kacangan dan lain-lain” [5]
4.        Mazhab Hanbali.

Imam Hambali [6] berpendapat  makanan yang dikeluarkan dalam zakat fitrah hanya beberapa jenis makanan saja yang telah dinashkan oleh rasulullaah saw yaitu gandum, syair, kurma, anggur, susu yang kering, beliau  juga berpendapat boleh mengeluarkan sawek dan daqiq yaitu makanan pokok yang sudah menjadi tepung. Dan jika tidak diperdapatkan jenis-jenis yang telah disebutkan di atas maka boleh mengeluarkan biji-bijian atau buah-buahan yang dijadikan sebagai makanan pokok, tidak boleh mengeluarkan yang lain seperti daging sekalipun dijadikan sebagai makanan pokok.
Sedangkan kadar yang dikelurkan adalah satu sha’ sama dengan empat cidukan kedua telapak tangan, dari tangan orang yang pertengahan atau  2751 gr, berkata sekolompok ulama    2176 gr.
Dari uarain diatas dapat kita simpulkan bahwa diantara 4 mazhab yang mu`tabar hanya Mazhab Hanafi yang membolehkan membayar zakat fithrah dengan uang. [7]

Beramal Dengan Mazhab Hanafi
Imam Hanafi adalah salah seorang Ulama Mujtahid Muthlaq yang hasil ijtihadnya sah diikuti oleh semua ummat Islam. Walaupun pendapat yang kuat tentang zakat fitrah adalah pendapat dari Imam Syafi’i, namun boleh saja kita mengeluarkan zakat fitrah dengan berpagang kepada pendapat Imam Hanafi yaitu membayar zakat fitrah dengan uang.
Berkata Ibnu Jamal, pendapat yang shahih dari kalam mutaakh-khirin seperti Ibnu Hajar dan lainnya bahwa boleh berpindah dari satu mazhab kepada mazhab yang lain yang mudawwan (terkodifikasi) walau hanya karena keinginan semata, baik berpindah untuk selama-lamanya ataupun pada sebahagian masalah saja sekalipun ia pernah berfatwa dan memutuskan hukum dan beramal dengan mazhab yang lain selama tidak terjadi talfiq (mengikuti pada sebahagian hal dalam satu perkara) sehingga kedua Imam tersebut tidak mengakui keshahihan amal tersebut. [8]
Para ulama syafii sepakat bahwa perbuatan yang dikerjakan dengan talfiq tidak sah, bahkan sebagian kalangan ulama berpendapat bahwa para ulama telah ijmak bahwa amalan yang dikerajakan dengan talfiq tidak sah.[9]
Karena itu membayar zakat fitrah dengan uang harus sesuai dengan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam mazhab Hanafi. Mazhab Hanafi hanya menetapkan zakat fitrah pada empat jenis makanan saja, yaitu : hintah (gandum), syair (padi belanda), tamar (kurma),  zabib (anggur), beliau juga berpendapat boleh pula mengeluarkan daqiq hintah ( gandum yang sudah menjadi tepung) dan saweq (adonan tepung).
Adapun kadar yang dikeluarkan dalam zakat fitrah menurut mazhab Abu Hanifah  adalah ½ sha’ gandum atau satu sha’ syair, satu sha’ kurma. Sedangkan masalah anggur maka golongan yang bermazhab Hanafi berbeda pendapat tentang kadar yang dikeluarkan, sebahagian berpendapat satu sha’ anggur dan sebahagian yang lain berpendapat ½ sha’ anggur. Satu sha’ 8 Rithal ‘Irak  menurut mazhab Hanafi, satu Rithal ‘Iraqiy 230 Dirham atau 3800 gr  karena Nabi Saw berwudhuk dengan satu mod yaitu 2 Rithal dan mandi dengan satu sha’ yaitu 8 Rithal.[10]
Sedangkan kadar yang dikeluarkan  menurut Imam Malek adalah satu sha’ makanan pokok yang telah disebutkan. Kadar 1 sha’ adalah  4 mud. Yaitu 685 Dirham 5/7  atau 5 1/3 Rithal Baghdadiy sama dengan sepenuh dua telapak tangan (cidukan tangan) seseorang yang pertengahan(tidak terlalubesar dan tidak terlalu kecil).
Menurut pendapat Imam Syafi’I kadar satu sha’ adalah 685 5/7 dirham atau 5 1/3 Rithal Baghdadiy. Berkata Imam Nawawi dalam Raudhah “telah sulit membuat batasan satu sha’ dengan timbangan, karena satu sha’ yang dikeluarkan Rasulullah s.a.w adalah takarannya diketahui tetapi berbeda-beda ukuran timbangannya, karena perbedaan benda yang dikeluarkannya, seperti biji-bijian, kacang-kacangan dan lain-lain” [11]
Sedangkan kadar yang dikelurkan menurut Imam Hambali adalah satu sha’ sama dengan empat cidukan kedua telapak tangan, dari tangan orang yang pertengahan atau  2751 gr, berkata sekolompok ulama    2176 gr.
Dari uraian ini dapat diambil kesimpulan bahwa, membayar zakat fitrah dengan uang haruslah dari harga hintah (gandum), syair (padi belanda), tamar (kurma) dan zabib (anggur). Tidak sah membayar zakat fitrah dengan harga beras, karena Imam Hanafi berpendapat tidak sah mengeluarkan zakat fitrah dari selain empat jenis makanan tersebut seperti dengan harga beras sebagaimana dikerjakan kebanyakan masyarakat saat ini.
Kemudian kadar yang dikeluarkan adalah ½ sha’ gandum atau 1900 gr atau satu sha’ syair atau satu sha’ kurma yaitu 3800 gr. Tidak sah menghargakan gandum atau kurma dengan kadar satu sha’ dalam mazhab Syafi’i dan Maliki yaitu 2764 gr atau kadar satu sha’ dalam mazhab Hambali yaitu 2751 gr atau 2176 gr.



[1] Beliau adalah Nu’man bin Tsabit bin Zauthi nama kecilnya adalah Imam Abu Hanifah. Lahir di Kufah, suatu kota yanng terletak dinegara Irak sekarang, pada tahun 80 H ( 696 M ) dan kemudian meninggal di Kota itu juga pada tahun 150 H (767 M), meninggalnya tepat pada tahun lahirnya Iam Syafi’I. Abu Hanifah adalah nama panggilan dari Nu’man bin Tsabit bin zauthi. Terdapat beberapa riwayat yang menerangkan bahwa “Hanifah” adalah nama dari salah seorang anak beliau. Abu Hanifah berarti “ Bapak Hanifah “, karena beliau adalah bapaknya Hanifah maka dipanggillah “Abu Hanifah Riwayat kedua menerangkan  bahwa “Hanifah “ berarti cenderung maksudnya, cenderung kepada agama Islam, sehingga beliau sangat teguh memegang prinsip-prinsip agama Islam. (Dikutib dalam buku Muslem Ibrahim, Pengantar Figh Muqarran , Syiah Kuala University Press, Banda Aceh, 1991. hal. 69 ).   
 
[2] Wahbah Zuhaily. Al-fiqh al- Islamy wa adillatuh. Jilid III. Hal 2044. Darul Fikri Dimsyik.
[3] Beliau adalah Malek bin Anas bin Malek bin Abi ‘Amaar Al-Ashbahi Al-Yamani. Ibunya adalah Ainsyah putri syarek Al-Azdiyah yang juga berasala dari Yaman. Lahir tahun 93 H (712 M) di kota Madinah dan wafat di kota Madinah pula tahun 179 H (789 M)dalam usia 87 tahun. Kakek beliau Abu ‘Amaar datang ke Madinah setelah Nabi muhammad saw wafat, karena itu ia tidak termasuk kedalam saalah satu sahabat rasulullah saw, akan tetapi termasuk dalam golongan tabi’in.Malek dilahirkandi tengah-tengah  keluarga yang kurang mampu akan tetapi tekun dalam mempelajari ilmu Agama Islam, terutama mempelajari hadits-hadits Nabi muhammad saw. Kakek beliau termasuk dalam ulama Tabi’in yang banyak meriwayatkan hadits dari Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Talhah. Hadits-hadits ini kemudian diriwayat oleh cucunya yaitu Imam Malek, yangf diterimanya dari Nafi’ dan Abu Sahal, salah seorang guru Az-Zuhri. Malek bin Anas mulai belajar dan menghafal Al-Quran sejak masih kecil, kemudian pada usianya yang masih muda beliau sudah sanggup menghfal seluruh Al-Quran. Setelah itu beliau mulai belajar dan menghafal hadits, permintaan beliau kepada ibunya untuk mengunjungi majlis pelajaran dikabulkan dengan senang hati bahkan ibunya menyuruh Malek untuk belajar kepada Rabi’ah (wafat 136 H) seorang ahli figh dari golongan ahli ra’ji (rasional). (Dikutib dalam buku Muslem Ibrahim, Pengantar Figh Muqarran , Syiah Kuala University Press, Banda Aceh, 1991. hal.80)

[4] Beliau adalah Muhammad bin Idris  bin Abbas bin  Usman bin Syafi’I bin Said bin Abu Yaziz Hakim bin  Muthallib bin Abdul Manaf. Keturunana beliau dari pihak bapak bertemu dengan keturunan Nabi Muhammad Saw. Pada Abdul Manaf. Oleh karena itu beliau masih termasuk suku quraisy. Ssedang ibu beliau bukan dari suku quraisy, berasal dari golongan Al-Azd. Beliau lahir di Guzzah (Ghaza), salah satu kota di daerah palestina dipinggir Laut Tengah pada tahun 150 H (767 M) dan wafat di Mesir tahun 204 H (822 M).
Ayah beliau meninggal ketika  beliau masih kecil dan dalam keadaan demikian beliau dibawa oleh ibunya ke mekkah dan menetap di sana.
Di Mekkah kedua orang ibu dan anak ini  hidup dalam keadaan miskan dan kekurangan, namun si anak ( asy-syafi’I ) mempunyai cita-cita yang tinggi untuk menuntut ilmu pengetahuan, sedang si ibu bercita-cita agar anaknya menjadi orang yang berpengetahuan, terutama pengetahuan agama Islam. Oleh karena itu si ibu berjanji akan berusaha sekuat tenaga untuk membiayai anaknya selama menuntut ilmu.
Mula-mula beliau belajar dan menghafal Al-Quran. Karena kesungguhanya beliau telah menghafal Al-Quran sewaktu berumur 9 tahun, disamping itu beliau juga menghafal segala hadits-hadits. Diriwayatkan bahwa karena kemiskinannya beliau hampir tidak dapat menyiapkan seluruh peralatan belajar yang beliau perlukan, sehingga beliau terpaksa mencari kertas yang tidak dipakai atau yang telah dibuang, akan tetapi masih bisa dipakai untuk menulis.
Kemudian atas persetujuan ibu beliau  maka pergilah beliau keperkampungan kabilah Nudzail yang berdiaam di salah satu dusun di luar Kota Mekkah. (Dikutib dalam buku Muslem Ibrahim, Pengantar Figh Muqarran , Syiah Kuala University Press, Banda Aceh, 1991. hal.88).
[5] Imam an-Nawawi Raudhatu at-Thalibin. Darul Ibnu Hizm Beirut 
[6] Beliau adlah Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Bilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hasan Asy-Syabany Al-Marwazy, lahir tahun 164 H dan wafat tahun 241 H di Baghdad. Ibu beliau bernama Shafiyah binti Maimunah binti Abdal Malek bin Sawadah bin Hindun Asy-Syaibaniy. Jadi baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu beliau berasal dari Bani Syaibah, salah satu kabilah yang berdiam semenanjung Arabia.
Ayah beliau Muhammad, adalah tentara dinasti Abbasiah yang bertugas dikota Maewi, salah satu kota yang berada diwilayah Khurasan, Asia tengah. Sewaktu ibunda belau hamil ayahnya pergi ke Baghdad pusat kerajaan Abbasiah dan menetap di sana. Di samping itu, banyak anggota keluarga beliau yang lain menjadi tentara dan angota pemerintahan Abbasiyah. Sekalipun Imam Ahmad dibesarkan dalam keluarga yang demikian,namun beliau dikemudian hari tidak mempunyai cita-cita menjadi pegawai.
Semula beliau dibesarkan dan dididik oleh kedua orang tuanya, tetapi dalam usia 30 tahun, bapak beliau meninggal dunia, sehingga kelanjutan pendidikan beliau dibiayai olah ibunya. Sejak kecil beliau mulai membaca dan menghafal Al-Quran. Pada usia 14 tahun beliau sudak mampu menghafal seluruh Al-Quran .
Dalam usaha menuntut ilmu hadits dan mengumpulkan hadits dari para penghafal hadits dan dengan perbelanjaan yang sangat kurang, pada tahu 186 H beliau meninggalkan Baghdad menuju kota Kuffah, Basrah ,Syam,Mekkah dan Madinah. Di Mekkah beliau bertemu dengan Imam Syafi’I dan belajar padanya. (Dikutib dalam buku Muslem Ibrahim, Pengantar Figh Muqarran , Syiah Kuala University Press, Banda Aceh, 1991. hal.96).    
  
[7] Lihat juga Imam Nawawy, Majmuk Syarah Muhazzab jilid 7 cet. Dar Kutub Ilmiyah 2007, Imam Mawardi, Hawy Kabir jilid 15 hal 301 cet. Dar Kutub Ilmiyah

[8] Sayid Bakri Syatha, I’anatuth Thalibin, Juz. IV, hal. 217, Haramain

[9] Ibnu Jamal al-Makky, Fathul Majid bi Ahkam Taqlid hal 12

[10] Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh . Jilid III hal 2044 Dar Fikr 

[11] Imam an-Nawawi Raudhatu at-Thalibin. Darul Ibnu Hizm Beirut  

Wallahu A`lam Bishshawab.