Pertanyaan:
Bagaimana sebenarnya kedudukan hukum
fiqh tentang membayara zakat fithrah dengan uang?
Jawaban:
Jawaban:
Sebelum menjawab pertanyaan dalam kasus diatas ada baiknya
kita melihat dulu bagaimana jenis zakat fithrah yang dikeluarkan berdasarkan 4
mazhab yang mu`tabar.
Beberapa pendapat ulama mazhab sebagai landasan untuk
menjadi pegangan tentang jenis-jenis harta yang dikeluarkan untuk zakat
fitrah:
1. Mazhab Hanafi
Imam Abu Hanifah [1] berpendapat bahwa
jenis-jenis makanan yang dikeluarkan dalam zakat fitrah adalah hintah
(gandum), syair (padi belanda), tamar (kurma), zabib
(anggur), beliau juga berpendapat boleh pula mengeluarkan daqiq hintah (
gandum yang sudah menjadi tepung) dan saweq (adonan tepung).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa sesungguhnya
Rasulullah Saw bersabda:
ادوا
قبل الخروج زكاة القطر فان علي كل مسلم مدا من قمح او دقيق.
Artinya : “tunaikanlah zakat
fitrah sebelum kamu keluar untuk sembahyang, maka wajib atas setiap orang
merdeka mengeluarkan dua mud gandum dan daqiq (tepung dari gandum)”.
Disamping itu Imam Abu Hanifah juga berperndapat boleh pula
mengeluarkan zakat fitrah dengan cara menghargakan makanan-makanan yang
disebutkan di atas dengan menggunakan uang atau barang-barang yang lain dari
apa saja yang dikehendakinya, bahkan beliau berpendapat mengeluarkan uang lebih
baik dari pada menggunakan qut (makanan pokok yang dapat disimpan dan
tahan lama) dikarenakan uang lebih banyak manfaatnya dan bisa digunakan untuk
kebutuhan yang diinginkan fakir miskin, hal ini didasari hadits Rasulullah
S.A.W.
اغنواهم عن المسألة فى مثل هذا اليوم
Artinya : “Perkayakanlah
orang-orang miskin dari meminta-minta pada hari ini”.
Hadits
di atas menganjurkan kita memperkaya orang miskin yaitu memenuhi kebutuhannya,
untuk memenuhi kebutuhan para fuqaraa (orang-orang miskin) boleh
dengan cara memberi makanan boleh pula dengan memberikan uang atau barang yang
lain, bahkan menggunakan uang lebih cocok dalam menunaikan hajat para fuqaraa,
dan sipemberi pun lebih mudah dalam menunaikannya. Dan Abu Yusuf berkata :
“aku lebih cinta mengeluarkan daqiq dari pada gandum kemudian uang lebih
baik dari pada daqiq dan gandum karena uang lebih dominan dalam
menunaikan kebutuhan orang-orang fakir”.
Adapun kadar yang dikeluarkan dalam zakat fitrah menurut
mazhab Abu Hanifah adalah ½ sha’ gandum atau satu sha’ syair, satu sha’
kurma, pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Sha’labah
bin Su’ar al-Uzry
أدوا عن كل حر وعبد نصف صاع من بر, او
صاعا من تمراومن شعير
Artinya : “Tunaikanlah dari
setiap orang merdeka dan hamba ½ sha’ gandum atau satu sha’ kurma ataupun
syair”.
Sedangkan masalah anggur maka golongan yang bermazhab Hanafi
berbeda pendapat tentang kadar yang dikeluarkan, sebahagian berpendapat satu
sha’ anggur dan sebahagian yang lain berpendapat ½ sha’ anggur. Satu sha’ 8
Rithal ‘Irak menurut mazhab Hanafi, satu Rithal ‘Iraqiy 230 Dirham atau
3800 gr karena Nabi Saw berwudhuk dengan satu mod yaitu 2 Rithal dan
mandi dengan satu sha’ yaitu 8 Rithal.[2]
2. Mazhab Maliki
Imam Malek [3] berpendapat zakat fitrah yang wajib
dikeluarkan adalah qut balad (makanan pokok suatu daerah),
akan tetapi beliau membatasi qut balat tersebut hanya sembilan
macam yaitu gandum, syair, sulti, jagung, dakhan, kurma,
anggur, susu yang sudah kering yang tidak diambil buihnya, tidak boleh
mengeluakan makanan selain sembilan macam yang disebutkan di atas seperti ful
(kacang-kacangan) dan adas.
Apabila terdapat jelas yang sembilan ini atau sebahagiannya,
maka boleh dipilih salah satunya untuk mengeluarkannya. Dan jika dalam suatu daerah
mengkonsumsi dua macam jenis makanan pokok seperti padi dan jagung dan keduanya
sama dibutuhkan dalam daerah tersebut maka boleh terhadap muzakki memilih
diantara keduanya, kemudian apabila terdapat seluruhnya atau sebahagiannya
sedangkan yang dijadikan makanan pokok itu lain maka wajib dikeluarkan barang
yang dijadikan makanan pokok kecuali makanan tersebut kurang baik ketimbang
jenis yang sembilan itu. Golongan yang bermazhab Maliki berpendapat boleh
mengeluarkan daging bila sudah dijadikan makanan pokok.
Sedangkan kadar yang dikeluarkan menurut Imam Malek
adalah satu sha’ makanan pokok yang telah disebutkan. Kadar 1 sha’ adalah
4 mud. Yaitu 685 Dirham 5/7 atau 5 1/3 Rithal Baghdadiy sama dengan
sepenuh dua telapak tangan (cidukan tangan) seseorang yang pertengahan(tidak
terlalubesar dan tidak terlalu kecil)
3.
Mazhab syafi’i
Imam
Syafi’i[4] berpendapat zakat fitrah wajib dikeluarkan dengan menggunakan qut
(makanan pokok yang mengenyangkan), akan tetapi golongan yang bermazhab Syafi’i
berbeda pendapat tentang qut yang digunakan dalam menunaikan zakat
fitrah.
Diantara
mereka ada yang berpendapat qut yang digunakan adalah qut balat
yaitu makanan pokok yang dikonsumsi oleh suatu daerah, sekalipun muzakki
tidak mengkonsumsinya. Sebahagian yang lain berpendapat qut yang
digunakan adalah qut dirinya yaitu makanan pokok yang ia konsumsi
walaupun daerah tersebut mengkonsumsi jenis makanan yang lain. Ada juga yang
berpendapat boleh kedua-duanya,
Maka
pendapat jumhur qut yang digunakan adalah qut yang
dikonsumsi suatu daerah, dan boleh juga mengeluarkan qut yang tidak ia
konsumsi asalkan yang lebih baik, seperti suatu daerah mengkonsumsi beras maka
boleh mengeluarkan gandum, dan daerah yang mengkonsumsi anggur boleh
mengeluarkan kurma dan lain sebagainya, lebih baik yang dimaksudkan disini
adalah banyak dijadikan sebagai qut, bukan harganya lebih mahal. Imam
Syafi’I juga berpendapat jika dalam suatu daerah ada beberapa macam makanan
pokok yang dikonsumsi maka boleh mengeluakan zakat fitrahnya qut apa saja
yang diinginkannya, akan tetapi yang lebih baik mengeluarkan qut yang
lebih bagus, tidak boleh mengeluarkan beberapa jenis dalam satu sha’, seperti ½
sha’ kurma dan ½ sha’ anggur.
Menurut pendapat Imam Syafi’I kadar satu sha’ adalah 685
5/7 dirham atau 5 1/3 Rithal Baghdadiy. Berkata Imam Nawawi dalam Raudhah “telah
sulit membuat batasan satu sha’ dengan timbangan, karena satu sha’ yang
dikeluarkan Rasulullah s.a.w adlah takarannya diletahui tetapi berbeda-beda
ukuran timbangannya, karena perbedaan benda yang dikeluarkannya, seperti
biji-bijian, kacang-kacangan dan lain-lain” [5]
4.
Mazhab Hanbali.
Imam Hambali [6] berpendapat makanan yang
dikeluarkan dalam zakat fitrah hanya beberapa jenis makanan saja yang telah
dinashkan oleh rasulullaah saw yaitu gandum, syair, kurma, anggur, susu yang
kering, beliau juga berpendapat boleh mengeluarkan sawek dan daqiq
yaitu makanan pokok yang sudah menjadi tepung. Dan jika tidak diperdapatkan
jenis-jenis yang telah disebutkan di atas maka boleh mengeluarkan biji-bijian
atau buah-buahan yang dijadikan sebagai makanan pokok, tidak boleh mengeluarkan
yang lain seperti daging sekalipun dijadikan sebagai makanan pokok.
Sedangkan
kadar yang dikelurkan adalah satu sha’ sama dengan empat cidukan kedua telapak
tangan, dari tangan orang yang pertengahan atau 2751 gr, berkata
sekolompok ulama 2176 gr.
Dari
uarain diatas dapat kita simpulkan bahwa diantara 4 mazhab yang mu`tabar hanya
Mazhab Hanafi yang membolehkan membayar zakat fithrah dengan uang. [7]
Beramal Dengan Mazhab Hanafi
Imam
Hanafi adalah salah seorang Ulama Mujtahid Muthlaq yang hasil ijtihadnya sah
diikuti oleh semua ummat Islam. Walaupun pendapat yang kuat tentang zakat
fitrah adalah pendapat dari Imam Syafi’i, namun boleh saja kita mengeluarkan
zakat fitrah dengan berpagang kepada pendapat Imam Hanafi yaitu membayar zakat
fitrah dengan uang.
Berkata
Ibnu Jamal, pendapat yang shahih dari kalam mutaakh-khirin seperti Ibnu Hajar
dan lainnya bahwa boleh berpindah dari satu mazhab kepada mazhab yang lain yang
mudawwan (terkodifikasi) walau hanya karena keinginan semata,
baik berpindah untuk selama-lamanya ataupun pada sebahagian masalah saja
sekalipun ia pernah berfatwa dan memutuskan hukum dan beramal dengan mazhab
yang lain selama tidak terjadi talfiq (mengikuti pada sebahagian hal
dalam satu perkara) sehingga kedua Imam tersebut tidak mengakui keshahihan amal
tersebut. [8]
Para
ulama syafii sepakat bahwa perbuatan yang dikerjakan dengan talfiq tidak
sah, bahkan sebagian kalangan ulama berpendapat bahwa para ulama telah ijmak
bahwa amalan yang dikerajakan dengan talfiq tidak sah.[9]
Karena itu membayar zakat fitrah dengan uang harus sesuai
dengan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam mazhab
Hanafi. Mazhab Hanafi hanya menetapkan zakat fitrah pada empat jenis makanan
saja, yaitu : hintah (gandum), syair (padi belanda), tamar
(kurma), zabib (anggur), beliau juga berpendapat boleh pula
mengeluarkan daqiq hintah ( gandum yang sudah menjadi tepung) dan saweq
(adonan tepung).
Adapun kadar yang dikeluarkan dalam zakat fitrah menurut
mazhab Abu Hanifah adalah ½ sha’ gandum atau satu sha’ syair, satu sha’
kurma. Sedangkan masalah anggur maka golongan yang bermazhab Hanafi
berbeda pendapat tentang kadar yang dikeluarkan, sebahagian berpendapat satu
sha’ anggur dan sebahagian yang lain berpendapat ½ sha’ anggur. Satu sha’ 8
Rithal ‘Irak menurut mazhab Hanafi, satu Rithal ‘Iraqiy 230 Dirham atau
3800 gr karena Nabi Saw berwudhuk dengan satu mod yaitu 2 Rithal dan
mandi dengan satu sha’ yaitu 8 Rithal.[10]
Sedangkan kadar yang dikeluarkan menurut Imam Malek
adalah satu sha’ makanan pokok yang telah disebutkan. Kadar 1 sha’ adalah
4 mud. Yaitu 685 Dirham 5/7 atau 5 1/3 Rithal Baghdadiy sama dengan
sepenuh dua telapak tangan (cidukan tangan) seseorang yang pertengahan(tidak
terlalubesar dan tidak terlalu kecil).
Menurut pendapat Imam Syafi’I kadar
satu sha’ adalah 685 5/7 dirham atau 5 1/3 Rithal Baghdadiy. Berkata Imam
Nawawi dalam Raudhah “telah sulit membuat batasan satu sha’ dengan timbangan,
karena satu sha’ yang dikeluarkan Rasulullah s.a.w adalah takarannya diketahui
tetapi berbeda-beda ukuran timbangannya, karena perbedaan benda yang
dikeluarkannya, seperti biji-bijian, kacang-kacangan dan lain-lain” [11]
Sedangkan kadar yang dikelurkan menurut Imam Hambali adalah
satu sha’ sama dengan empat cidukan kedua telapak tangan, dari tangan orang
yang pertengahan atau 2751 gr, berkata sekolompok ulama
2176 gr.
Dari uraian ini dapat diambil kesimpulan bahwa, membayar
zakat fitrah dengan uang haruslah dari harga hintah (gandum), syair
(padi belanda), tamar (kurma) dan zabib (anggur). Tidak sah
membayar zakat fitrah dengan harga beras, karena Imam Hanafi berpendapat tidak
sah mengeluarkan zakat fitrah dari selain empat jenis makanan tersebut seperti
dengan harga beras sebagaimana dikerjakan kebanyakan masyarakat saat ini.
Kemudian kadar yang dikeluarkan adalah ½ sha’ gandum atau
1900 gr atau satu sha’ syair atau satu sha’ kurma yaitu 3800 gr. Tidak sah
menghargakan gandum atau kurma dengan kadar satu sha’ dalam mazhab Syafi’i dan
Maliki yaitu 2764 gr atau kadar satu sha’ dalam mazhab Hambali yaitu 2751 gr
atau 2176 gr.
[1] Beliau adalah Nu’man bin Tsabit bin Zauthi nama kecilnya
adalah Imam Abu Hanifah. Lahir di Kufah, suatu kota yanng terletak dinegara
Irak sekarang, pada tahun 80 H ( 696 M ) dan kemudian meninggal di Kota itu
juga pada tahun 150 H (767 M), meninggalnya tepat pada tahun lahirnya Iam
Syafi’I. Abu Hanifah adalah nama panggilan dari Nu’man bin Tsabit bin zauthi.
Terdapat beberapa riwayat yang menerangkan bahwa “Hanifah” adalah nama dari
salah seorang anak beliau. Abu Hanifah berarti “ Bapak Hanifah “, karena beliau
adalah bapaknya Hanifah maka dipanggillah “Abu Hanifah Riwayat kedua
menerangkan bahwa “Hanifah “ berarti cenderung maksudnya, cenderung
kepada agama Islam, sehingga beliau sangat teguh memegang prinsip-prinsip agama
Islam. (Dikutib dalam buku Muslem Ibrahim, Pengantar Figh Muqarran , Syiah
Kuala University Press, Banda Aceh, 1991. hal. 69 ).
[2] Wahbah
Zuhaily. Al-fiqh al- Islamy wa adillatuh. Jilid III. Hal 2044. Darul
Fikri Dimsyik.
[3]
Beliau adalah Malek bin Anas bin Malek bin Abi ‘Amaar Al-Ashbahi Al-Yamani.
Ibunya adalah Ainsyah putri syarek Al-Azdiyah yang juga berasala dari Yaman.
Lahir tahun 93 H (712 M) di kota Madinah dan wafat di kota Madinah pula tahun
179 H (789 M)dalam usia 87 tahun. Kakek beliau Abu ‘Amaar datang ke Madinah
setelah Nabi muhammad saw wafat, karena itu ia tidak termasuk kedalam saalah
satu sahabat rasulullah saw, akan tetapi termasuk dalam golongan tabi’in.Malek
dilahirkandi tengah-tengah keluarga yang kurang mampu akan tetapi tekun
dalam mempelajari ilmu Agama Islam, terutama mempelajari hadits-hadits Nabi
muhammad saw. Kakek beliau termasuk dalam ulama Tabi’in yang banyak meriwayatkan
hadits dari Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Talhah. Hadits-hadits ini
kemudian diriwayat oleh cucunya yaitu Imam Malek, yangf diterimanya dari Nafi’
dan Abu Sahal, salah seorang guru Az-Zuhri. Malek bin Anas mulai belajar dan
menghafal Al-Quran sejak masih kecil, kemudian pada usianya yang masih muda
beliau sudah sanggup menghfal seluruh Al-Quran. Setelah itu beliau mulai
belajar dan menghafal hadits, permintaan beliau kepada ibunya untuk mengunjungi
majlis pelajaran dikabulkan dengan senang hati bahkan ibunya menyuruh Malek
untuk belajar kepada Rabi’ah (wafat 136 H) seorang ahli figh dari golongan ahli
ra’ji (rasional). (Dikutib dalam buku Muslem Ibrahim, Pengantar Figh Muqarran ,
Syiah Kuala University Press, Banda Aceh, 1991. hal.80)
[4] Beliau adalah Muhammad bin Idris bin Abbas
bin Usman bin Syafi’I bin Said bin Abu Yaziz Hakim bin Muthallib
bin Abdul Manaf. Keturunana beliau dari pihak bapak bertemu dengan keturunan
Nabi Muhammad Saw. Pada Abdul Manaf. Oleh karena itu beliau masih termasuk suku
quraisy. Ssedang ibu beliau bukan dari suku quraisy, berasal dari golongan
Al-Azd. Beliau lahir di Guzzah (Ghaza), salah satu kota di daerah palestina
dipinggir Laut Tengah pada tahun 150 H (767 M) dan wafat di Mesir tahun 204 H
(822 M).
Ayah
beliau meninggal ketika beliau masih kecil dan dalam keadaan demikian
beliau dibawa oleh ibunya ke mekkah dan menetap di sana.
Di Mekkah kedua orang ibu dan anak ini hidup dalam
keadaan miskan dan kekurangan, namun si anak ( asy-syafi’I ) mempunyai
cita-cita yang tinggi untuk menuntut ilmu pengetahuan, sedang si ibu
bercita-cita agar anaknya menjadi orang yang berpengetahuan, terutama
pengetahuan agama Islam. Oleh karena itu si ibu berjanji akan berusaha sekuat
tenaga untuk membiayai anaknya selama menuntut ilmu.
Mula-mula beliau belajar dan menghafal Al-Quran. Karena
kesungguhanya beliau telah menghafal Al-Quran sewaktu berumur 9 tahun,
disamping itu beliau juga menghafal segala hadits-hadits. Diriwayatkan bahwa
karena kemiskinannya beliau hampir tidak dapat menyiapkan seluruh peralatan
belajar yang beliau perlukan, sehingga beliau terpaksa mencari kertas yang
tidak dipakai atau yang telah dibuang, akan tetapi masih bisa dipakai untuk
menulis.
Kemudian atas persetujuan ibu beliau maka pergilah
beliau keperkampungan kabilah Nudzail yang berdiaam di salah satu dusun di luar
Kota Mekkah. (Dikutib dalam buku Muslem Ibrahim, Pengantar Figh Muqarran ,
Syiah Kuala University Press, Banda Aceh, 1991. hal.88).
[5] Imam
an-Nawawi Raudhatu at-Thalibin. Darul Ibnu Hizm Beirut
[6] Beliau adlah Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin
Bilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hasan Asy-Syabany Al-Marwazy, lahir
tahun 164 H dan wafat tahun 241 H di Baghdad. Ibu beliau bernama Shafiyah binti
Maimunah binti Abdal Malek bin Sawadah bin Hindun Asy-Syaibaniy. Jadi baik dari
pihak bapak maupun dari pihak ibu beliau berasal dari Bani Syaibah, salah satu
kabilah yang berdiam semenanjung Arabia.
Ayah beliau Muhammad, adalah tentara dinasti Abbasiah yang
bertugas dikota Maewi, salah satu kota yang berada diwilayah Khurasan, Asia
tengah. Sewaktu ibunda belau hamil ayahnya pergi ke Baghdad pusat kerajaan
Abbasiah dan menetap di sana. Di samping itu, banyak anggota keluarga beliau
yang lain menjadi tentara dan angota pemerintahan Abbasiyah. Sekalipun Imam
Ahmad dibesarkan dalam keluarga yang demikian,namun beliau dikemudian hari
tidak mempunyai cita-cita menjadi pegawai.
Semula beliau dibesarkan dan dididik
oleh kedua orang tuanya, tetapi dalam usia 30 tahun, bapak beliau meninggal
dunia, sehingga kelanjutan pendidikan beliau dibiayai olah ibunya. Sejak kecil
beliau mulai membaca dan menghafal Al-Quran. Pada usia 14 tahun beliau sudak
mampu menghafal seluruh Al-Quran .
Dalam usaha menuntut ilmu hadits dan mengumpulkan hadits
dari para penghafal hadits dan dengan perbelanjaan yang sangat kurang, pada
tahu 186 H beliau meninggalkan Baghdad menuju kota Kuffah, Basrah ,Syam,Mekkah
dan Madinah. Di Mekkah beliau bertemu dengan Imam Syafi’I dan belajar padanya.
(Dikutib dalam buku Muslem Ibrahim, Pengantar Figh Muqarran , Syiah Kuala
University Press, Banda Aceh, 1991. hal.96).
[7] Lihat juga Imam Nawawy, Majmuk
Syarah Muhazzab jilid 7 cet. Dar Kutub Ilmiyah 2007, Imam Mawardi, Hawy Kabir
jilid 15 hal 301 cet. Dar Kutub Ilmiyah
[8] Sayid Bakri Syatha, I’anatuth
Thalibin, Juz. IV, hal. 217, Haramain
[9] Ibnu Jamal al-Makky, Fathul
Majid bi Ahkam Taqlid hal 12
[10] Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh
al-Islamy wa Adillatuh . Jilid III hal 2044 Dar Fikr
[11] Imam an-Nawawi Raudhatu
at-Thalibin. Darul Ibnu Hizm Beirut
Wallahu A`lam Bishshawab.